Bentuknya kerucut, mirip rumah Honai di Papua atau mirip juga rumah adat di Tanjania, Afrika. Atapnya yang ditutupi daun lontar hampir menyentuh tanah, dengan ketinggian hampir 15 m. Itulah keunikan rumah adat Mbaru Niang di kampung Wae Rebo, Gunung Pocoroko, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur - Indonesia. Rumah adat yang berdiameter 15 m dan memiliki 5 lantai ini memang sudah langka dan tinggal hanya beberapa unit saja. Rumah ini biasanya dihuni 6 sampai 8 keluarga. Tetapi yang mengherankan, yang pertama kali menemukan rumah adat ini orang luar, antropolog asal Belanda, Catherine Allerton yang mencari Wae Rebo untuk penelitian.
Karena keunikannya, rumah adat Mbaru Niang mendapat pengharhargaan dari UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation. Sebuah penghargaan tertinggi dalam bidang konservasi warisan budaya tahun 2012, Wae Rebo mengalahkan pesaing-pesaing seluruh dunia yang tak kalah berkualitas. Selain itu juga sebagai salah satu kandidat peraih Aga Khan untuk arsitektur tahun 2013.
Konstruksi
.jpg)
Tata Ruang
Sebagaimana telah disinggung diatas, bahwa rumah adat Mbaru Niang mempunyai 5 lantai, yang setiap levelnya mempunyai nama dan fungsinya masing-masing.- lantai pertama disebut lutur digunakan sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat lutur dibagi tiga, bagian depan ruangan untuk bersama, semacam ruang keluarga. Di bagian dalam adalah kamar-kamar yang disekat menggunakan papan, dan dapur di bagian tengah rumah.
- lantai kedua berupa loteng atau disebut lobo berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari
- lantai ketiga disebut lentar untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti benih jagung, padi, dan kacang-kacangan
- lantai keempat disebut lempa rae disediakan untuk stok pangan apabila terjadi kekeringan,
- lantai kelima disebut hekang kode untuk tempat sesajian persembahan kepada leluhur.
Akses
Untuk mencapai kampung Wae Rebo, memang cukup melelahkan, perjalanan dimulai dari kota Ruteng dan hanya sampai di desa Denge dengan memakan waktu kurang lebih 4 jam. Antara Kota Ruteng dengan desa Denge berjarak sekitar 80 km. Dari desa Denge dilanjutkan perjalanan dengan jalan kaki melewati hutan kecil, menyeberangi sungai Wae Lomba, dan dilanjutkan jalan setapak dan menanjak hingga sampai di Wae Rebo. Tetapi setelah sampai di desa Wae Rebo, rasa lelah tersebut terobati dengan sambutan yang ramah dari warga dan keindahan alam kampung Wae Rebo.Referensi : Wikipedia bahasa Indonesia, Kompas.com, Google book
Image : Google Image
